Senin, 26 September 2011

SUKU MENTAWAI



Pada hari kedua di Mentawai, kami berkesempatan berkunjung ke rumah seorang dari Suku Mentawai. Sebelumnya, kami sudah pernah membaca dan mendengar cerita mengenai Suku Mentawai dan kebudayaannya yang terpelihara. Kali ini, kami hendak berkenalan langsung dan melihat seperti apa kehidupan sehari-hari Suku Mentawai di Pulau Siberut. Menggunakan perahu bermotor, kami menempuh perjalanan sekitar empat puluh dari Muara Siberut untuk mencapai perkampungan terdekat. Kami menuju hulu Sungai Gereget yang lebar dan berair tenang. Di kanan kiri terdapat hutan bakau dan pohon sagu yang rimbun. Sesekali kami berpapasan dengan Suku Mentawai yang sedang menaiki pompong (perahu kayut tradisional Mentawai).
Sampailah kami pada uma (rumah khas Mentawai) yang berdiri di tepi sungai. Teman Mentawai kami, Tutulu, dan keluarganya menyambut hangat sembari mengucap, “aloitta?” yang artinya “apa kabar?”. Perhatian saya seketika terpusat pada tato yang menghiasi tubuh sebagian besar orang dewasa yang ada di sana, baik di tubuh lelaki maupun perempuan. Di tengah obrolan, Tutulu dan kakaknya yang merupakan seorang sikerei (dukun budaya) lalu bercerita mengenai pembuatan tato khas Mentawai. Tato, mereka menyebutnya titi, adalah salah satu bagian dari ekspresi seni dan perlambang status orang dari Suku Mentawai. Dulu, tato populer di kalangan baik lelaki maupun perempuan Mentawai yang telah dewasa. Kini, hanya sebagian kecil suku Mentawai yang masih bertato. Sebagian dari mereka bisa ditemui di pedalaman Pulau Siberut.
Tato dibuat oleh seorang sipatiti (pembuat tato). Proses pembuatan tato memakan waktu yang lama, terutama pada tahap persiapannya yang bisa sampai berbulan-bulan. Ada sejumlah upacara dan pantangan (punen) yang harus dilewati oleh orang yang ingin ditato. Tak semua orang sanggup melewati tahap ini. Sebelum sipatiti mulai membuat tato, ada ritual upacara yang dipimpin oleh sikerei (dukun budaya Mentawai). Tuan rumah lalu mengadakan pesta dengan menyembelih babi dan ayam. Daging babi dan ayam ini juga sebagai upah yang diberikan untuk sikerei. Tutulu bercerita bahwa ntuk menyelenggarakan pesta membuat tato ini saja bisa menghabiskan biaya sekitar lima juta rupiah.

Jarum yang digunakan terbuat dari tulang hewan atau kayu karai yang diruncingkan. Dengan mengetok-ngetoknya, terciptalah garis-garis yang merupakan motif utama tato suku Mentawai. Pewarna yang digunakan berasal dari arang yang menempel di kuali. Sikerei yang merupakan kakaknya Tutulu berkata bahwa biasanya pembuatan tato dimulai dari telapak tangan, tangan, kaki lalu tubuh. Selama beberapa hari, kulit yang baru ditato akan bengkak dan mengeluarkan darah. Membayangkannya saja saya ngeri.
Konon, tato Mentawai termasuk seni tato tertua di dunia, bahkan lebih tua dari tato Mesir. Sayangnya, kini hanya sebagian kecil saja suku Mentawai yang masih mempertahankannya. Hal ini akibat adanya larangan Pemerintah terhadap berkembangnya ajaran animisme di masa lalu. Tato adalah salah satu produk budaya yang kemudian perlahan menghilang. Ratusan motif tato yang pernah menghiasi penduduk asli Mentawai pun tidak sempat terdokumentasi. Bahkan Tutulu yang kami kenal pun, menghiasi tubuhnya dengan tato gambar bunga dan jangkar yang jelas bukan motif asli tato





Gentlemans pakai kambi (cawat kulit kayu), ladies pakai ‘rok anyaman serat pohon pisang’. Dan Tatto bukan berarti Emo atau Gothic, tapi tradisi. Seiring jaman, ciri ini mulai pudar.

Pasca Tsuami Aceh silam, suku & kepulauan mentawai jadi sorotan, mirip selebritis suku tradisionil. Maklum, mentawai berada di sekitar rawan gempa & (cincin api). Info geografis Google Earth, ketika dilakukan pencarian dengan keyword terkait, kepulauan ini bahagian dari Sumatera Barat & Sumatera Utara. Terdiri dari Pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan.

500.000 tahun lalu (zaman Pleistocene), diperkirakan, Kepulauan Mentawai terpisah dari daratan Sumatra oleh naiknya permukaan air laut. Sejak itulah pulau ini terisolasi. Jika air laut naik lagi, mungkin hilang benar.

penduduknya 18.554 jiwa, 15 % orang asli, dan pendatang – Batak, Minangkabau & minoritas kulit putih (sensus 1980). Siberut merupakan pulau terbesar, tapi penduduknya paling sedikit. Sulitnya komunikasi – transportasi, turut memperlambat perkembangannya Siberut.

Bahasa Mentawai bagian dari rumpun bahasa Austronesia, ada bermacam logat; logat Simalegi, Sekudai, Sikalagan, Silabu, Taikaku, Saumanganya, dll.

Setengah abad silam sebelum masuk budaya luar, Mentawai hidup dalam peradaban Neolitikum. Misteriusnya sejarah alam & asal-usul orang Mentawai, sebagian ahli menduga mereka termasuk bangsa Melayu tua/Proto Melayu, sebagian lain menduga mereka termasuk bangsa Polinesia. Ada pula pendapat, orang Mentawai adalah Proto-Malayan yang bermigrasi dari area terdekat, mengingat kemiripan dengan Nias (kosmologi & antropologi ragawi).

Misterius nya lagi, mengapa pada hunian mereka tak dijumpai peradaban batu besar (menhir, dolmen & batu kubur) ? Bisa jadi karena lokasi baru huniannya, atau karena kecilnya unit populasi migran hingga kurang tenaga untuk membangun artefak-artefak batu? Beberapa peralatan berburu dan rumah tangga dari batu, sudah lama digantikan logam yang didatangkan dari Sumatera.

While that, orang Mentawai sendiri percaya tradisi tutur, bahwa mereka berasal dari Pulau Nias (Selatan?) yang turun ke daerah Simatalu di Pantai Barat Siberut. pulau yang dusun-dusunya didirikan di tepian sungai – sebagai sarana lalu lintas, membelah hutan lebat yang sebagian tergenang rawa.

Satu dusun (lazimnya berpenduduk puluhan/ratusan) terdiri dari beberapa uma (rumah bersama untuk beberapa keluarga) sebagai pusat, sedangkan rumah lalep (rumah individual untuk satu keluarga) dan rumah rusuk (rumah sementara untuk pasutri muda) yang sederhana mengelilinginya.

berburu adalah penghasilan utama disamping meramu sagu. Menggunakan kapak dan beliung batu yang diperoleh dari pedagang luar yang singgah membeli hasil hutan. Setelah pedagang banyak berdatangan, barulah mereka mendapat peralatan besi. Siberut khususnya, mata pencahariannya berkebun dan berladang di pinggir hutan yang berawa-rawa.

Tengkorak babi hutan, monyet dan kulit ibat laut (kura-kura) digantungkan di dinding uma & para-para, pertanda berapa kali pesta diadakan di uma itu. Bukan karena kurang kerjaan.

Pada event “mendapat hasil buruan” tampak Ikatan sosial yang nyata. Begitu hasil buruan tiba di uma, alat musik kayu obbuk dan bolobok pun dibunyikan; mengumpulkan saudara sesuku. Daging hasil buruan harus dibagi sesuai aturan, pelanggaran dianggap akan mendatangkan petaka, terkutuk jadi buaya & lambang ketamakan. Maka, jumlah buruan pun menjadi terbatas sesuai kebutuhan. Etisnya mereka harus membagi daging hasil buruan pada suku tetangganya, jika pembagian hasil buruan di lingkungan suatu suku itu diketahui suku tetangganya. Pola konsumsi mereka ini secara tidak langsung tetap menjaga keseimbangan alam.

Pendatang luar (si toi) wajib bayar upeti pada penduduk asli (sibakkat laggai), jika ingin mengelola hutan sekitar kampung yang belum terjamah. Secara adat, tanah sekitar kampung adalah milik sibakkat laggai.

Makanan primer mereka adalah sagu & keladi. Tapi kemudianpun mengkonsumsi beras, ikan, berbagai jenis burung & babi hutan. Tersedia cukup makanan pokok di hutan mereka yang berawa-rawa.

Tembakau, peralatan besi, pakaian, bahan bakar, beras, garam dan lain-lain, biasanya didatangkan oleh pedagang dari Padang (Sumatera Barat) sebagai daerah terdekat, yang mereka barter dengan hasil hutannya yang subur dan kaya (rotan, manau, kayu, cengkeh, kopra, dll).

Tiada strata, tingkatan sosial, tidak ada kelompok pemimpin atau budak bagi mereka. Hidup berkelompok pada pemukiman yang mereka sebut ‘UMA’ (istilah untuk kelompok pemukim & tempat pemukiman itu sendiri). Uma, biasanya berupa rumah tradisionil yang cukup besar dan bisa dihuni beberapa keluarga batih berbasis patrilineal (garis keturunan ayah). Di sekitar uma didirikan beberapa ‘LALEP’ (rumah keluarga yang pernikahan mereka belum resmi). Setiap lelaki mengambil istri dari uma tetangganya. Jika suami meninggal nanti, sang janda kembali ke uma asalnya.

Tiap uma dipimpin seorang RIMATA. Biasanya lelaki yang bijak & berpengalaman, tapi ada juga yang dipilih berdasar keturunan. Rimata sebenarnya pemimpin adat uma itu sendiri. Kalau ada yang dianggap pelopor biasanya adalah orang yang ahli dibidangnya, dan tidak harus orangtua berpengalaman. Hubungan uma satu dengan yang lain dijaga dengan ikatan pernikahan.



Kepimimpinan yang jelas, tercermin dalam sistem religi. semua upacara – upacara tradisional mereka yang beragam, dipimpin oleh seorang KEREI atau sikere (dukun, tokoh spritual).

Agama asli orang Mentawai, Sabulungan, percaya bahwa segala sesuatu punya roh masing-masing yang sama sekali terpisah dari raganya & bebas berkeliaran di alam luas.

Kekuatan terselubung dalam suatu benda yang bisa mengganggu manusia, mereka sebut ’bajao’. Karenanya harus diadakan upacara ‘pulaijat’ (pembersihan uma) di waktu tertentu (selama 1 minggu, bahkan lebih). Selama itu mereka terkena aturan punen (ritual pelarangan mengerjakan tabu yang berkaitan dengan pulaijat). Sikerei (pemimpin upacara) tidak terikat pada kelompok uma asalnya, ia dapat dipanggil memberi pengobatan di uma yang lain. Imbalan atas pengobatannya itu akan dibagi pada sesama anggota uma asalnya.

Tiap roh berpengaruh satu sama lain, kepercayaan mereka. dan kekuatan alam yang terselubung secara keseluruhan itu disebut ‘KINA ULAU’. Kepercayaan asli ini mulai berangsur digantikan oleh agama Islam & Kristen. Meski masih ada yang menganut agama asli, setidaknya masih percaya roh-roh gaib.

Orang Mentawai senang tari-tarian, diiringi beberapa buah gendang & gong yang didapat dari pendatang. Bagi mereka tarian itu perlambang gerak alam sekitarnya.

Pola kegiatan mereka sehari-hari yang berhubungan erat dengan punen (pesta-pesta suci) maupun syarat-syarat persembahan sebelum mendirikan rumah, berburu, membuka ladang, dsb.

Hubungan muda-mudi sebagai pasangan rumah tangga dapat diterima secara sosial dalam “hubungan rusuk”, yaitu suatu perkawinan yang belum diresmikan adat. Kedua muda-mudi pasangan rumah tangga harus mendirikan rumah sederhana, sementara si suami berusaha mencari nafkah & kesiapan materi yang lebih memadai.

Ini tanda bahwa pasangan muda tersebut masuk dalam sistem sosial, ke dalam kebersamaan adat. Hubungan ini disebut hubungan lalep. Mereka bisa tinggal di uma ayah si suami atau bila dia cukup mampu mendirikan rumah sendiri yang disebut rumah lalep.

Pernikahan resmi di Siberut memerlukan kesiapan sang lelaki; pertanggung-jawaban yang cukup berat bagi kelangsungan hidup calon istrinya. Jika sang lelaki dipandang telah mapan (ladang, peralatan rumah tangga, pohon sagu & babi), perkawinan bisa diresmikan adat. Sejak itu mereka diakui sebagai pasangan “dewasa” secara sosial. Seseorang akan terhormat jika dia telah tinggal di rumah lalep, berarti pernikahannya telah diresmikan adat. pasangan resmi tersebut bisa bergabung dan tinggal di uma ayah dari sang suami.

Jika rumah rusuk buat sementara, maka lalep dibangun permanen dan lebih baik. Lalep adalah rumah individual yang didirikan oleh lelaki kepala rumah tangga, bila uma orang tuanya penuh. Di masa lalu, keluarga dari beberapa lalep masih berusaha untuk mendirikan sebuah uma baru. Hal itu tampaknya sudah jarang dilakukan saat ini.

Suku Mentawai yang terkenal dengan tradisi seni melukis tubuhnya atau tatoo mendiami Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, yang terletak sekitar 100 km di sebelah barat Kota Padang, terdiri dari 40 pulau besar dan kecil.

Empat pulau besar non vulkanik yang dapat didiami manusia adalah Siberut (4.097 km2) di utara sebagai pulau terbesar, Sipora (840 km2) di tengah, Pagai Utara dan Pagai Selatan (1.870 km2) di bagian selatan. Tentang asal mula orang-orang Mentawai, tidak banyak yang tahu secara pasti, tetapi Suku Mentawai selalu menganggap bahwa nenek moyangnya berasal dari Nias, Sumatera Utara.

Keyakinan itu dilandasi oleh dongeng yang menceritakan bahwa pada zaman dahulu kala seorang Nias bernama Ama Tawe pergi memancing ke laut. Ketika sedang berada di tengah laut tiba-tiba terjadi badai yang menyeret Ama Tawe terdampar ke Pulau Mentawai di tepi pantai barat Pulau Siberut, tepatnya di daerah Simatalu.

Ama Tawe melihat banyak pohon keladi dan sagu tumbuh sendiri tanpa ada orang yang menanam dan merawatnya sehingga ia berniat menetap di situ. Ama Tawe kembali ke Nias untuk mengambil anak dan istrinya. Keberangkatan mereka ke tempat baru itu ternyata diikuti oleh banyak penduduk Nias lainnya yang ingin merantau ke Mentawai.

Tetapi para ahli rupanya berpendapat lain, menurut mereka orang Mentawai merupakan keturunan dari rumpun Melayu Polinesia dan merupakan gelombang pertama bangsa Asia Daratan yang datang ke Indonesia.

Pada Festival Art Suku yang digelar di Taman Ismail Marzuki, 16 sampai 19 Desember 2004, Suku Mentawai yang hadir untuk membagi kehidupan dan budayanya dengan masyarakat luas adalah mereka yang mendiami Pulau Siberut Selatan.

Menurut Ketua Panitia Festival Art Suku, Maria Darmaningsih, di balik lebatnya hutan tropis Siberut terdapat banyak kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang selama berabad-abad lamanya. "Lingkungan hidup seperti manusia, binatang, hutan, perbukitan, dan sungai-sungai merupakan kesatuan kehidupan di alam Siberut yang sekaligus merupakan roh kesenian," kata wanita yang turut dalam kegiatan survei sebagai persiapan festival.

Di Kepulauan Mentawai tidak ada gunung tinggi. Yang ada hanya perbukitan yang tingginya tidak melebihi 500 meter. Umumnya bertanah subur, datar serta berawa-rawa dengan sungai-sungai kecil, sehingga sarana perhubungan yang paling umum digunakan adalah melalui sungai.

"Mati hutan maka mati pula kehidupan. Tidak ada hutan maka tidak ada orang Mentawai," kata salah seorang Sikerei (pemimpin spiritual) Dusun Muntei Siberut Selatan, Aman Teukat, di Jakarta.

Menurut dia, dahulu sekalipun tujuh hingga delapan bulan tidak hujan, tidak pernah terjadi kekeringan, berbeda dengan kondisi sekarang, tiga atau lima minggu tidak hujan saja sudah kekeringan.

Secara tradisional, orang Mentawai di Siberut Selatan memiliki kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Arat Sabulunga di mana semua benda diyakini memiliki jiwa.

Oleh karena itu, mereka percaya jika memperlakukan benda-benda itu di luar batas kebiasaan, dapat berakibat ke dalam kehidupan, bahkan menimbulkan penyakit atau kematian.

Pada praktek berburu pun mereka tidak melakukannya karena sekadar untuk bersenang-senang tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam. Itulah sebabnya saat hasil buruan tiba di Uma (rumah adat), dipukul sejenis alat musik dari kayu, obbuk dan bolobok untuk mengumpulkan saudara sesuku.

Kemudian daging hasil buruan dibagikan secara merata serta harus habis tanpa ada yang terbuang percuma. Aturan ini pantang dilanggar, karena dianggap bisa mendatangkan petaka sehingga jumlah buruan menjadi jelas takarannya. Orang Mentawai percaya, pelakunya akan dikutuk menjadi buaya, sebagai lambang ketamakan.

Dampak dari pelanggaran pantangan bukan saja diderita oleh satu orang, tetapi juga dapat menimpa kelompok atau marga yang tinggal dalam satu uma. Uma adalah sebuah rumah tradisional besar yang dihuni beberapa keluarga menurut garis keturunan ayah yang dipimpin oleh tokoh senior yang disebut Rimata. Agar dampak tersebut tidak berkepanjangan, biasanya masyarakat Mentawai menggelar ritual adat untuk menyucikan diri, uma dan lingkungannya yang disebut sebagai upacara pulaijat.

Selain ritual yang diselenggarakan untuk membersihkan diri, masyarakat Mentawai juga percaya bahwa ritual mampu mencegah malapetaka dan membina hubungan baik dengan kehidupan roh atau simagre agar dapat mencapai kebahagiaan sesudah mati di surga (laggai sabeu).

Bagi masyarakat Mentawai, upacara adat lebih dari sekedar sebuah ritual belaka tetapi juga merupakan media untuk berkesenian. Melalui ritual adat mereka mengekspresikan semangat berkeseniaannya dalam musik, tari dan seni sastra.

Itulah sebabnya seorang Sikerei atau pemimpin spiritual, tidak hanya menjadi penguasa wilayah gaib, tetapi juga seorang seniman. Dia dapat berperan sebagai penyanyi atau 'sipuurai' serta penari atau 'sipurutuk'. Sementara itu pakaian laki-laki Mentawai adalah kabit berupa celana yang terbuat dari akar pohon sedangkan yang perempuan memakai rok yang terbuat dari daun pisang hutan yang dikeringkan setengah kering dan dibuat berumbai dan dikenal sebagai 'lakok'.

Sisa dari keratan-keratan pakaian biasanya diambil sebagai hiasan. Gigi mereka sengaja diasah dan diruncing supaya tajam sedangkan tubuh dihiasi dengan tatoo tradisional yang digambar oleh Sikerei dengan menggunakan tinta khusus dari air tebu.


Urai Mentawai

Masyarakat Mentawai memiliki suatu bentuk nyanyian atau seni berolah vokal yang disebut sebagai urai. Urai dibedakan atas nyanyian ritual seperti Urai Simaggere (nyanyian jiwa) serta Urai Ukkui (nyanyian leluhur) dan nyanyian non ritual seperti Urai Goatbaga (nyanyian sedih) serta Urai Paoba (nyanyian cinta).

Secara umum masyarakat Mentawai lebih mengutamakan syair dalam urai, sehingga hanya ada satu urai yaitu Urai Popoet yang diiringi alat musik sebagai satu kesatuan. Sedang urai yang lain, sekalipun dilagukan dengan musik sambil menari, tetapi alat musik atau 'gajeuma' bukan menjadi bagian dari urai melainkan bagian dari tari atau 'muturuk'.

Jumlah urai ritual di Mentawai jauh lebih banyak dari urai non ritual karena semua mantra dari Sikerei berbentuk urai. Misal mantra untuk pengobatan yang disebut 'mulaggek' atau 'pabettei', mantra untuk memanggil roh atau 'simaggere', dan mantra untuk memuji roh leluhur atau 'ukkui'.

Urai ritual milik para Sikerei itu merupakan suatu mantra yang diwariskan secara turun-temurun sehingga syairnya bersifat tetap. Urai ritual itu biasanya diwariskan secara resmi oleh para Sikerei Siburuk atau para guru Sikerei kepada Sipukerei Sibau atau calon Sikerei pada upacara Mukerei yang bertujuan untuk melantik para Sikerei muda.

Karena masyarakat mentawai menganggap bahwa urai ritual besifat mistis maka tidak semua orang mampu menjadi Sikerei, tetapi hanya orang-orang tertentu yang memiliki bakat, keturunan Sikerei, atau mampu berkomunikasi dengan makhluk gaib.

Sementara itu syair pada urai non ritual tidak selalu persis sama, biasanya hanya tema saja yang sama tetapi syairnya dapat berbeda tergantung dari siapa yang membawakan, misal pada lagu-lagu yang bertemakan cinta kasih.


Turuk Mentawai

Turuk atau tarian bagi masyarakat Mentawai bukan sekedar tarian yang bersifat hiburan tetapi juga gerakan-gerakan melingkar oleh beberapa Sikerei ketika mencari roh atau simaggere orang sakit pada suatu upacara pengobatan.

Pada umumnya turuk diiringi oleh musik perkusi 'tuddukat' yang berupa tiga atau empat kentongan berdiameter satu hingga tiga meter yang disebut sebagai 'ina', 'katengan', 'tatoga 'dan 'tetektek tuddukat'. Tarian di Mentawai biasanya dilakukan dengan sikap tubuh penari yang hampir sama yaitu sedikit membungkuk dan kepala cenderung kaku menghadap ke depan mengarah ke bawah, mendatar dan ke atas sementara itu kaki penari dihentakkan ke lantai papan atau 'puturukat'.



Suatu fenomena khas yang hampir selalu ada pada turuk ritual Mentawai adalah peristiwa 'igobok' atau 'irorok', yaitu ketika sang penari mengalami kesurupan. Tarian-tarian yang berhubungan dengan makhluk gaib hanya boleh ditarikan oleh para Sikerei atau istri Sikerei.

Tarian ritual yang paling sering diselenggarakan adalah tarian yang digunakan pada upacara pengobatan sederhana atau kmulaggek'. Jika belum sembuh maka diadakan suatu upacara pengobatan besar atau 'pabettei' yang melibatkan tiga sampai enam orang Sikerei yang bersama-sama menarikan turuk lajjou untuk menjemput roh orang yang sakit.

Pada upacara tersebut para Sikerei membunyikan lonceng kecil yang disebut sebagai 'jejeneng' dengan satu tangan sementara itu tangan yang lain membawa piring berisi sesaji .


Walaupun sebagian besar tarian adalah milik para Sikerei tetapi masyarakat biasa juga memiliki tarian non ritual yang bersifat sebagai hiburan semata seperti tari menangkap udang, monyet dan elang. Tari-tarian tersebut berkembang dari adat kebiasaan sehari-hari.

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons